Tulungagung – Lintasnusantara,Com-Pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) jenjang SMA dan SMK Tahun Ajaran 2025/2026 di Kabupaten Tulungagung kembali menuai kontroversi. Sejumlah orang tua siswa mengeluhkan sistem jalur domisili yang dinilai membingungkan dan tidak transparan.
Salah satu sorotan datang dari Nunik, warga Desa Kedungwaru, yang anaknya mendaftar ke SMAN 1 Kedungwaru melalui jalur domisili. Meski rumahnya hanya berjarak sekitar 100 meter dari gerbang sekolah, sang anak dinyatakan tidak lolos seleksi.
“Anak saya sudah sangat berharap bisa masuk SMA, jarak rumah kami sangat dekat. Tapi kenapa yang jaraknya lebih jauh justru bisa diterima? Ini kan tidak masuk akal,” ujar Nunik kecewa, Rabu (2/7/2025).
Keluhan seperti yang dialami Nunik bukanlah kasus tunggal. Berdasarkan laporan yang dihimpun dari masyarakat, puluhan calon siswa mengalami hal serupa di sejumlah sekolah favorit, termasuk SMAN 1 Kedungwaru. Ironisnya, mayoritas dari mereka tinggal sangat dekat dengan sekolah yang dituju.
Heri Widodo, seorang praktisi hukum sekaligus tokoh pendidikan di Tulungagung, menilai ada kesalahpahaman sekaligus potensi ketidakadilan dalam implementasi jalur domisili ini.
“Perbedaan jalur domisili dan zonasi terletak pada dasar penentuannya. Zonasi menggunakan jarak rumah ke sekolah, sedangkan domisili menggunakan wilayah administratif tempat tinggal. Kalau anaknya sudah tinggal di wilayah domisili resmi, seharusnya diterima,” jelas Heri saat dikonfirmasi, Kamis (3/7/2025).
Heri menekankan pentingnya transparansi kriteria seleksi, agar sistem ini tidak menjadi celah praktik tidak adil yang merugikan calon peserta didik.
“Jika memang ada kriteria lain selain jarak atau domisili administratif, maka seharusnya dijelaskan secara terbuka ke publik,” tegasnya
Masyarakat kini mendesak Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, khususnya Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Tulungagung, untuk segera mengevaluasi sistem SPMB 2025 jalur domisili secara menyeluruh. Mereka juga menuntut adanya audit independen terhadap proses seleksi.
“Jangan biarkan anak-anak ini putus sekolah hanya karena sistem yang bermasalah,” pungkas Heri Widodo.
Beberapa usulan solusi yang muncul antara lain:
Pembukaan kembali pendaftaran untuk siswa tidak tertampung,
Penyediaan kuota tambahan di sekolah-sekolah tertentu.
Hingga berita ini ditulis, pihak Dinas Pendidikan belum memberikan tanggapan resmi atas polemik tersebut.
Reporter : winart