TULUNGAGUNG – Lintasnusantara.com – Kasus dugaan perundungan yang menimpa AV (16), siswa salah satu SMA Negeri di Kabupaten Tulungagung, kini memasuki fase baru. Keluarga korban melalui ibunya, Suprihatin, resmi mencabut kesepakatan damai yang sebelumnya telah dibuat dengan pihak terduga pelaku.
Langkah ini diambil lantaran kondisi psikologis korban semakin memburuk. AV disebut mengalami trauma berat, enggan kembali ke sekolah, dan bahkan diduga masih mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari pelaku yang sama, DF (17).
Dalam surat pernyataan tertanggal 28 Oktober 2025, Suprihatin menegaskan bahwa sang anak belum pulih secara mental dan membutuhkan perlindungan serius.
“Anak saya masih takut, bahkan menolak sekolah kembali. Perlakuan bullying belum berhenti hingga sekarang,” ujar Suprihatin.
TRC PPA Ambil Sikap: Sekolah Diminta Hadir dan Bertanggung Jawab
Mengetahui kondisi tersebut, Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Indonesia turun tangan. Ketua Umum TRC PPA, Jeny Claudya Lumowa atau yang akrab disapa Bunda Naomi, mengecam keras adanya “perdamaian sepihak” yang dinilai tidak berpihak pada korban.
Menurut Jeny, hasil investigasi tim di lapangan menunjukkan kondisi korban sangat mengkhawatirkan. AV mengalami gangguan psikologis berat, kehilangan semangat, serta menolak untuk pindah ke sekolah lain. Biaya perawatan yang sudah dikeluarkan pun mencapai jutaan rupiah dan diperkirakan masih akan bertambah karena membutuhkan bantuan psikiater.
“Kalau hasil perdamaian justru membuat korban semakin menderita, maka itu bukan perdamaian yang adil. Kami akan terus mendampingi hingga keadilan benar-benar ditegakkan,” tegas Jeny, Selasa (28/10/2025).
Desakan dan Peringatan untuk Sekolah serta Pelaku
TRC PPA menilai pihak sekolah kurang menunjukkan kepedulian terhadap kondisi korban. Jeny mendesak kepala sekolah agar segera menemui keluarga AV dan memberikan tanggung jawab moral serta perlindungan nyata bagi siswanya.
Selain itu, TRC PPA juga mengungkap bahwa pelaku DF diduga pernah melakukan perundungan serupa terhadap AV ketika masih duduk di bangku SMP. Fakta ini menunjukkan bahwa tindakan tersebut bukan kali pertama dan perlu ditangani secara serius.
“Sekolah tidak boleh tutup mata. Ini bukan masalah pribadi, tapi persoalan kemanusiaan dan keselamatan anak,” tegasnya.
TRC PPA Siap Tempuh Jalur Hukum
Jeny memberikan ultimatum kepada pihak sekolah agar segera mengambil langkah konkret.
“Sekarang waktunya tegas menolak segala bentuk perundungan. Jika pihak sekolah tidak menunjukkan itikad baik, TRC PPA Indonesia siap menempuh jalur hukum,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa lembaganya akan terus mengawal kasus ini sampai korban mendapatkan keadilan.
“Kami berdiri memastikan tidak ada lagi anak yang menjadi korban perundungan dan pembiaran. Lingkungan pendidikan harus menjadi tempat yang aman bagi semua siswa,” pungkasnya.
Kasus ini menjadi pengingat keras bagi dunia pendidikan, khususnya di Tulungagung, agar tidak menutup mata terhadap praktik bullying. Publik kini menunggu langkah nyata dari pihak sekolah, Dinas Pendidikan, dan aparat penegak hukum untuk memastikan keadilan bagi korban serta keamanan bagi seluruh pelajar.(tim)
